MENARA12 – Barangkali akan ada dari para pembaca yang terhenyak membaca judul tulisan ini. Jikalau begitu, maka keinginan penulis tercapai. Ya, sebelum lebih jauh, izinkan penulis menjelaskan bahwa maksud “wajib” dalam judul bukanlah terminologi agama, melainkan terminologi sosiologi-sejarah. Kewajiban itu menurut pandngan Ibnu Khaldun dalam teorinya thaba’i al-Umran (tabiat peradaban) yang salah satunya menghajatkan adanya siklus: pergantian dan keberlanjutan.
Kepemimpinan adalah kebutuhan asasi dari manusia, sebagaimana kebutuhan manusia terhadap hidup berkelompok dan berorganisasi. Di dalam sistem kepemimpinan yang secara sadar oleh setiap individu di dalam sistem itu, siklus kepemimpinan sifatnya wajib. Namun, perlu dipertegas bahwa, hukum dalam setiap siklus bukanlah keterputusan, melainkan kesinambungan. Keterputusan berarti memulai setiap periode kepemimpinan dari skala nol. Keberlanjutan berarti memulai, mengoreksi, dan menumbuhkan dari hasil yang telah diperoleh dari periode selanjutnya.
Saya kira pembaca telah memiliki pemahaman yang sama dengan yang penulis inginkan sebagaimana tertulis di judul tulisan. Kepemimpinan yang dipergilirkan dalam sebuah siklus, dalam satu sisi mewakili semangat zaman dari parapihak yang berada di dalam sistem organisasi-kepemimpinan. Di sisi lain, siklus itu mewakili ide, gagasan, dan selanjutnya berwujud program yang dimuntahkan untuk menjawab tantangan yang dibawa bersamaan dengan semangat zaman.
Semangat, momentum, dan tantangan zaman adalah hal yang berada di luar kendali tangan manusia. Atau setidaknya kuasa manusia bukanlah faktor determinan. Ia hadir seringkali tanpa aba-aba; datangnya bisa lebih cepat atau lambat; menuntut respons segera agar tidak tertinggal. Sebaliknya, ide, gagasan, dan program sepenuhnya determinasi pikiran, perasaan, dan kehendak manusia. Siklus kepemimpinan organisasi senantiasa berada dalam tarikan dua bandul itu: Kesigapan membaca momentum dengan pilihan kebijakan yang otentik dan berdaya.
Namun, di luar hal-hal di atas, masih mengambil hikmah dari buah pikirannya Ibnu Khaldun, ada dua hal utama yang menentukan jalannya organisasi dan tentu kemudian menjadi tanggung jawab kepemimpinan. Pertama adalah ashabiyah atau soliditas internal. Organisasi membutuhkan soliditas internal sebagai fondasi bagi tegak-kokohnya organisasi. Jika fondasi ini rapuh, apatah lagi roboh, maka seluruh rencana gagasan akan tertimbun puing-puing reruntuhan organisasi. Kepemimpinan yang berhasil adalah yang berhasil memunculkan, merawat, dan menjaga soliditas internal organisasinya.
Faktor penting kedua adalah agama. Agama tentu busa dimaknai tidak hanya bentuk formalnya, tetapi lebih luas dari itu, agama bisa dimaknai sebagai seperangkat nilai yang disepakati bersama untuk dijadikan pedoman, pegangan, petunjuk bagi setiap pihak di dalam organisasi. Oleh sebab itu, nilai dalam organisasi harus disusun, disepakati, dan dijalankan tanpa terkecuali. Benih-benih retakan dalam organisasi muncul saat nilai yang disepakati bersama perlahan-lahan terkoyak. Pintalan indah langgam organisasi, sedikit-demi-sedikit tergores oleh pengabaian terhadap nilai. Ujungnya koyak. Sobek.
Pergiliran kepemimpinan dalam organisasi adalah wajib. Agar pergiliran kepemimpinan itu dapat terus berjalan lama, maka usia organisasi haruslah bertahan sepanjang masa. Oleh sebab itu, soliditas internal dan kepatuhan kepada nilai-nilai asasi organisasi juga menjadi wajib.
*) Penulis : A. Syauqi Fuady (Sekretaris PCPM Kota Bojonegoro)