MENARA12 – Pemilihan umum (pemilu) merupakan salah satu instrumen dalam sistem demokrasi perwakilan untuk memilih pemimpin yang diberikan mandat dan suara. Para pemimpin yang terpilih sesungguhnya dititipi suara oleh para pemilih untuk mengubah aspirasi menjadi policy. Mengubah mandat menjadi perumus-pelaksana kebijakan yang amanat. Singkatnya, pemilu adalah alat untuk memilih aktor pemerintahan yang tugas utamanya memenuhi kebutuhan dan hajat pemberi aspirasi dan mandat.
Mekanisme pemilu dalam sistem demokrasi yang diselenggarakan secara periodik dalam kurun waktu tertentu, biasanya lima tahunan, memberikan jeda, evaluasi, sekaligus memberi batasan. Jamak, bahwa kekuasaan tanpa batas adalah ancaman bagi demokrasi. Kekuasaan yang tidak dibatasi rawan terhadap peneyelewengan. Lebih jauh lagi, kekuasaan jika tidak dibatasi akan memungkinkan kekuasaan berputar hanya kepada satu golongan tertentu.
Mekanisme pemilihan umum berada dalam hubungan dialektik antara pemilih dan pemimpin yang dipilihnya. Pemimpin adalah cerminan dari pemilihnya; pemimpin adalah wajah dari pemilihnya. Apalagi dalam pemilu, satu individu dihargai sama: Satu suara. Tanpa peduli status sosial, ekonomi, dan pendidikan. Satu individu memiliki satu suara yang nilainya sama. Kondisi inilah yang menjadi loophole dalam mekanisme pemilu. Sebuah kondisi yang memungkinkan terjadinya pemilu transaksional.
Kualitas pemilihan umum, oleh karenanya, tergantung setidaknya oleh dua hal: Stok kaderisasi calon pemimpin berkualitas dan pendidikan bagi calon pemilih. Hal pertama terkait stok kepemimpinan berkualitas maka perlu adanya kanal-kanal kaderisasi calon-calon pemimpin. Kanal-kanal calon pemimpin bisa dimunculkan dari partai politik, akademisi atau intelektual, pengusaha, kader organisasi ormas, dan kanal-kanal lainnya. Makin banyak kanal, stok kepemimpinan akan lebih berwarna dan bergairah.
Hal kedua yang juga sangat penting adalah pendidikan politik bagi calon pemilih. Alasannya sederhana, seperti disebutkan di atas: Suara satu orang nilainya setara. Oleh sebab itu, satu orang memiliki ‘harta’ yang sangat berharga dalam bentuk suara. Karena urgensi itulah, maka sudah selayaknya, masing-masing calon pemilih menitipkan suaranya dengan penuh kesadaran dan pertimbangan. Kesadaran dan pertimbangan itu lahir dari proses pendidikan calon pemilih. Pemilih yang sadar akan berdikari dan mandiri dalam menentukan sikap dan pilihannya.
Beradasarkan cara pandang itu, Muhammadiyah sebagai organisasi yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, memiliki dua peran strategis dalam alam demokrasi, terkhusus terkait dengan pemilihan umum. Pertama, Muhammadiyah sangat mumpuni untuk menjadi wadah kaderisasi bagi lahirnya calon pemimpin. Muhammadiyah telah dan akan terus menjadi rahim bagi lahirnya calon pemimpin bangsa. Kader-kader terbaik Muhammadiyah adalah aset yang bisa menjadi diaspora dalam saluran partai politik yang berbeda-beda. Kader calon pemimpin terbaik dari Muhammadiyah dapat dihibahkan bagi bangsa dan negara.
Peran kedua yang juga perlu dilakukan oleh Muhammadiyah adalah melakukan pendidikan politik bagi warganya. Arah dan tujuannya jelas: Agar warga Muhammadiyah menjadi pemilih cerdas, mandiri, dan independen. Dalam diskursus ini, politik bagi Muhammadiyah adalah mendidik. Politik adalah penyadaran akan hak dan kewajiban sebagai rakyat. Pendidikan adalah aset politik Muhammadiyah dalam melakukan pencerahan dalam menyikapi dinamika politik yang tidak eksak dan statis.
Terakhir, peran penting Muhammadiyah adalah sebagai kelompok kepentingan (interest group) dan kelompok penekan (pressure group). Muhammadiyah sebagai kelompok masyarakat sipil (civil society) tentu memiliki kepentingan, aspirasi, dan kebutuhan untuk melibatkan kebijakan negara. Hal-hal yang menjadi aspirasi Muhammadiyah dapat dititipkan dan diperjuangkan, khususnya melalui diaspora kadernya. Tentu hal ini harus dilandaskan prinsip kemandirian sehingga relasi kepentingan tidak menjadi sekadar tarnsaksional pragmatis.
Muhammadiyah juga diperlukan kiprahnya dalam menjadi kekuatan imbangan (checks and balances) bagi jalannya kekuasaan. Muhammadiyah dengan sumber daya yang dimiliki dapat memainkan peran sebagai kompas moral, dapat juga memberi masukan dan kritik bagi jalannya pemerintahan yang lebih baik. Dalam melakukan peran sebagai kelompok penekan, Muhammadiyah tentu saja dapat melakukan imbangan, masukan, dan kritikan kepada kader-kader diasporanya yang berkiprah dalam politik praktis. Tentu saja agar kiprah kader-kader diasporanya dapat tetap berada dalam jalur moral yang semestinya.
Pemilu sebagai pilihan politik di alam demokrasi hanya salah satu wilayah dalam kehidupan. Tentu, semua pihak memiliki kesempatan untuk berkiprah yang terbaik. Namun, sebagaimana anekdot Albert Einstein, bahwa “politics is more difficult than physics”. Politik menyimpan banyak ruang kemungkinan dan sekaligus ketidakpastian. Politik tidak absolut, sehingga konsep dan pilihan ideal dalam lanskap politik sulit terwujud, jika tidak dikatakan mustahil.
*) Penulis : A. Syauqi Fuady (Dosen STIT Muhammadiyah Bojonegoro dan Anggota MPID PDM Bojonegoro)