MENARA12 – Pasal 29 ayat 2 berbunyi: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaan”.
Pasal ini memberikan konsekwensi pemerintah memberikan kebebasan warganya terhadap keyakinan agamanya. Artinya urusan agama adalah urusan pribadi setiap orang. Dan perbedaan adalah esensi kehidupan, apalagi jika kita hidup di dunia.
Meminjam perkataan Gusdur, bahwa: “Perbedaan itu fitrah. Dan ia harus diletakkan dalam prinsip kemanusiaan universal”.
Maka perbedaan keyakinan tentang penetapan hari raya versi pemerintah dan Muhammadiyah adalah sesuatu yang boleh, karena perbedaan sudut pandang.
Perspektif Muhammadiyah, 1,8 derajat dari sisi hisab adalah bahwa hilal telah menandai bergantinya bulan. Sementara pemerintah dengan kesepakatan 4 negara ASEAN dengan patokan bahwa hilal dapat dilihat dengan diatas 3 derajat, sebagai dasar penetapan tanggal awal bulan, juga suatu yang bisa diterima secara ilmiah. Dan dengan demikian keduanya memiliki dasar naqliyah dan aqliyah.
Maka kedepan bahwa sidang isbat ditiadakan seperti kata Makmun Murod adalah sebuah ide kreatif ditengah kemajemukan bangsa yang makin dewasa. Sesuatu yang kedepan perlu ada pertimbangan ulang, karena negara berdiri atas semua golongan.
*) Penulis : Drs. M Yazid Mar’ie M.Pd (Wakil Ketua Bidang Dikdasmen dan Pendidikan non Formal)