فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قالَ يا بُنَيَّ إِنِّي أَرى فِي الْمَنامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ ما ذا تَرى قالَ يا أَبَتِ افْعَلْ ما تُؤْمَرُ سَتَجِدُني إِنْ شاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرينَ (102)
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. (Q.S. ash-Shaffāt 37: 102).
MENARA12 – Setelah membaca ayat di atas sebagai orang awam muncul sebuah pertanyaan, mungkinkah mimpi bisa dijadikan hujjah/ argumen? Bagaimana Ibrahim menganggap mimpinya sebagai hujjah dan menjadi sumber pengetahuan? Bagaimana mungkin Ibrahim dan Ismail meyakini bahwa hanya dengan mimpi berlanjut menjadi sebuah tindakan karena mimpinya sebuah perintah?
Karena pada kesempatan ini tidak sedang kita permasalahkan terkait pertanyaan-pertanyaan tersebut, sehingga secara singkat kita sampaikan bahwa dalam konteks ini, sebagaimana disampaikan oleh al-Fakhr ar-Rāzī dalam tafsirnya Mafātiĥ al-Ghayb: “Mimpi seorang nabi digolongkan sebagai salah satu jenis wahyu”. Sehingga pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu sudah terjawab dan kita cukup meyakini bahwa itu betul-betul wahyu Allah yang berbentuk perintah yang harus dilaksanakan hamba-Nya.
Justru subtansi dari yang akan kita kupas adalah bagaimana mungkin ada seorang ayah seperti Ibrahim dan bagaimana mungkin ada anak seperti Ismail.
Tentu masing-masing tidak bisa berpisah, satu dengan yang lain saling mengait, bisa kita bilang tiga serangkai insan sholih “Ibrahim, Hajar , Ismail”. Ibrahim adalah sosok ayah, Hajar adalah sosok ibu, dan Isma’il adalah sosok anak.
Ada sosok anak yang sholih seperti Ismail tentu tidak terlepas karena ada sosok ayah seperti Ibrahim dan sosok ibu seperti Hajar, begitu juga ada sosok Ibrahim karena ada sosok istri seperti seperti Hajar, demikian juga ada sosok Hajar karena dipimipin oleh seorang suami seperti Ibrahim.
Proses Kaderisasi Berawal dari Keluarga
Dari risalah singkat di atas dapat ditarik sebuah benang merah bahwa proses kaderisasi paling strategis adalah berawal dari keluarga, bila ingin membangun sebuah peradaban yang tinggi dan ingin berhasil maka harus dimulai dari sebuah tatanan organisasi terendah yaitu keluarga, kalau ingin membangun sukses keluarga maka tiga unsur “militansi ayah, ketangguhan seorang ibu, dan kecerdasan anak” harus terpenuhi.
Seperti yang tersebut dalam buku PHIWM (Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah) bahwa upaya kaderisasi keluarga adalah dengan menjadikan keluarga sebagai wadah untuk sosialisasi nilai – nilai dan ajaran Islam dan pembentukan akhlak mulia sehingga terbentuknya pribadi uswatun hasanah (sebagai madrasah) serta sebagai wahana perkaderan sesuai dengan fungsi keluarga dalam pedoman hidup islami warga Muhammadiyah (PHIWM). Tentunya dengan berpegang pada prinsip dasar bahwa pemimpin yang baik mampu menyiapkan penggantinya dan falsafah pohon pisang : ‘’belum rela mati sebelum tumbuh tunasnya‘’
Muhammadiyah dapat melewati usia satu abad ini karena mampu melahirkan kader–kader terbaiknya. Yaitu kader yang mampu meneruskan perjuangan para perintis dan pendahulunya. Salah satu jalur kaderisasi yang paling strategis adalah jalur keluarga. Keluarga perintis Muhammadiyah di sebuah tempat mampu melahirkan generasi penerusnya, demikian seterusnya. Ini biasanya terjadi karena generasi perintis Muhammadiyah memang betul–betul kader militan, handal, soleh, dan memiliki daya juang tinggi serta memiliki visi yang jauh kedepan. (Prof. DR. H.M. Din Syamduddin, 2014)
Krisis Kader Sedang Melanda
Kader Muhammadiyah adalah mereka yang memiliki semangat tinggi untuk membawa organisasi lebih dinamis maju ke depan. Maka masa depan Muhammadiyah bisa dibilang tergantung sejauh mana Muhammadiyah menyiapkan kadernya, kader yang sudah ada ditingkatkan kualitasnya. Maka adanya proses kaderisasi menjadi penting.
Seiring dengan perjalanan Muhammadiyah yang sudah melewati usia seabad betulkah sedang terjadi krisis kader? Pertanyaan dan pernyataan ini bisa dianggap betul juga bisa dianggap salah, tatkala pernyataan ini kita bawa dalam sebuah forum diskusi ada pernyataan nyinyir tapi sepertinya ada benarnya, ” _pernyataan krisis kader sengaja dihembuskan karena ia enggan diganti_ “, ini katanya.
Misalnya pernyataan krisis kader ini dianggap betul maka sebenarnya ini fakta yang pernah dijumpai oleh penulis pada daerah-daerah tertentu. Muhammadiyah akan hilang tatkala pimpinan satu periode ini meninggal maka selesailah Muhammadiyah di daerah tersebut karena tidak ada kader yang melanjutkan, anak-anak biologis tidak ada harapan untuk bisa melanjutkan perjuangan orang tua.
Kesimpulan
Kalau ingin sukses dalam proses kaderisasi maka hendaknya setiap individu bertanggung jawab terhadap keluarga masing-masing sesuai dengan amanat surat at tahrim 6
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
=======
*) Penulis : Suprapto, S.Ag (Sekretaris Majelis Dikdasmen & PNF PDM Bojonegoro)