MENARA12 – Ibadah dalam Islam, di satu sisi memiliki esensi individual dan personal sebagai bentuk ketaatan dan penyucian jiwa. Di sisi lainnya adalah bentuk pemenuhan tanggung jawab dan kewajiban sosial. Puasa adalah penyucian jiwa sekaligus berlatih empati. Zakat yang ditunaikan di adalah ‘pajak sosial’ terhadap sesama. Wudu sebelum salat, selain berfungi ssbagai pembersih dari hadas dan najis, juga simbol untuk menjaga pancaindra dari perbuatan menyakiti sesama. Ucapan salam sebagai penutup salat adalah tanda untuk senantiasa menghadirkan keselamatan dan perdamaian bagi sesama. Esensi seorang Muslim, tidak lain adalah hadirnya keselamatan dan perdamaian. Bermaaf-maafan adalah pembebasan dari segala kesalahan yang telah terjadi kepada orang lain.
Hadirnya perdamaian merupakan prasyarat bagi terwujudnya kesejahteraan. Tidaklah hadir kesejahteraan dalam suasana penuh ketakutan, kezaliman, dan pertikaian. Oleh karena itu, perdamaian harus senantiasa menjadi nilai seorang Muslim dalam konteks kehidupan bersama. Islam senantiasanya menuntun umatnya untuk berada di atas jalan damai. Jalan damai tegak di atas kebenaran dan keadilan. Perdamaian hadir di atas komitmen atas nilai-nilai kebenaran. Kehidupan yang damai akan tegak, selama keadilan dijadikan sebagai panglima penuntun segala pikiran dan tindakan. Islam yang mewajibkan umatnya untuk mencari kebenaran dan keadilan, selalu menuntun umatnya ke jalan damai.
Kebenaran, keadilan, dan perdamaian yang dikehendaki bukanlah hadiah yang diperoleh hanya dengan berpangku tangan serta bertopang dagu belaka. Perjuangan berasaskan perasaan bertanggung jawab, pengorbanan dengan tanpa pamrih, dan perbuatan dengan semangat kesungguhan serta tawakal adalah syarat dasar yang harus ditegakkan. Tawakal bagi kita berarti berani bertindak dengan keyakinan, bahwa Tuhan senantiasa memimpin usaha kita. Tuhan berada di sisi hamba-Nya yang berjuang, berkorban, dan berbuat untuk kebenaran, keadilan, dan perdamaian. Perdamaian yang berdasarkan kebenaran dan keadilan tidak dapat diperoleh secara mudah, tetapi harus diperjuangkan dengan penuh keberanian dan tawakal kepada Allah Swt.
Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang menjadi sebab segala-galanya, yang tidak beranak dan dianakkan, dan tidak ada yang menyamainya, dengan sendirinya menimbulkan rasa berani dalam hati orang Islam. Hanya Tuhan tempat orang Islam takut, hanya Tuhan tempat ia menyerahkan segala isi jiwanya. Ia bertakwa kepada Tuhan Yang Mahakuasa, dan tak takut akan kekuasaan manusia. Dari Tuhan datang kebenaran dan keadilan, dan oleh karena itu orang Islam yang berjuang di atas jalan Allah, tak pernah merasa takut dan sunyi di mana saja ia berada. Ia merasa dalam jiwanya, bahwa Tuhan senantiasa ada pada sisinya,
memimpinnya dan memperlindunginya.
Kepercayaan kepada Tuhan, Allah Swt, bernilai transendensi yang membuat jarak antara makhluk dan khalik; yang diciptakan denagn penciptanya. Bahwa Tuhan dan makhluk ciptaan-Nya tidak mungkin bersatu zatnya. Akan tetapi, kehadiran Tuhan, Allah Swt, dapat dirasakan di sisi seorang beriman dan bertakwa yang senantiasa berkomitmen untuk berjuang di jalan-Nya. Perasaan seorang Muslim beriman dan bertakwa yang senantiasa dilindungi dan dibersamai Tuhan adalah sumber kekuatan yang dahsyat: Jangan takut, jangan bersedih, Allah Swt bersama kita.
Perjuangan menegakkan keadilan dan perdamaian berlandaskan nilai kebenaran yang senantiasa didasari oleh keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt tidaklah mungkin bertujuan untuk menghadirkan kerusakan dan kehancuran sebuah negeri. Tentu, akan menjadi sebuah paradoks saat bercita-cita menegakkan kebenaran, keadilan, dan perdamaian tetapi langkah yang dilakukan justru menciptakan kehancuran dan kerusakan. Firman Allah Swt dalam Surat An-Naml ayat 34: “Sesungguhnya raja-raja (penjajah), apabila memasuki suatu kota (negeri) pasti mereka merusak-binasakan negeri itu dan menghina pemuka-pemuka dan pemimpin-pemimpinnya, dan begitulah mereka berbuat selama-lamanya.”
Perbuatan-perbuatan sebagaimana diutarakan di atas, tentulah tidak mudah. Merintang banyak halangan, hambatan, dan segala kesukaran. Selayaknya tinggi cita-cita, maka upaya yang harus disiapkan dan dilakukan makin berlipat banyaknya. Peningkatan pengetahuan, memupuk pengalaman dengan senantiasa berbuat, dan terpenting mengokohkan mental dan karakter. Kurang kecakapan dapat dicukupkan dengan pengalaman, kurang kesanggupan dapat dicukupkan dengan latihan, tetapi kurang kejujuran, susah memperbaikinya. Pengetahuan, pengalaman, dan karakter adalah kunci untuk bertahan dan berjuang. Pengetahuan yang menjadi landasan perbuatan demi tegaknya kebebaran adalah prinsip utama perjuangan.
Tidak mudah, tetapi yakinlah firman Allah Swt dalam Surat Al-Insyirah: “Bukankah kami telah melapangkan dadamu, mengambil beban, yang berat menekan punggungmu, dan meletakkan engkau pada derajat yang tinggi? Sebab itu nyatalah, sehabis susah datanglah senang. Nyatalah, sehabis susah datanglah senang. Sebab itu, apabila engkau terlepas dari kesukaran, giatkanlah lagi usahamu. Dan jadikanlah Tuhanmu sebagai tujuanmu semata.”
Catatan akhir: Tulisan di atas adalah intisari dari khotbah idulfitri yang disampaikan oleh Mohammad Hatta pada saat Hari Raya Idulfitri tanggal 18 Agustus 1947 bertempat di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat.
*) Penulis : A. Syauqi Fuady (Dosen STIT Muhammadiyah Bojonegoro)