MENARA12 – Kemarin, penulis mendapatkan cerita dari Mas Dubes Hajriyanto Y. Thohari. NU ini rezekinya sempulur. Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta mendapat bantuan dari Emirat (lewat Presiden RI) sebesar Rp. 1,4 Trilyun. Itu bantuan tahap pertama tahun ini berkat mendirikan MBZ School for Future Studies di UNU.
Mendengar cerita tersebut, cendikiawan cemerlang kita Andar Nubowo yang masih betah tinggal di Perancis ikut komentar: “itu karena mereka pada pinter bahasa Arab dan jualan Mas. Sementara, kita sudah pada kepinteran dan semugih. Yo angel methik duit”.
“Muhammadiyah kata Buya Anwar Abbas sudah memiliki 300 T ya?”, tanya Andar lebih lanjut.
Penulis-pun, hanya senyum-senyum mendengarnya.
“Bukannya Narasi yang dibangun oleh Ketum PP Muhammadiyah akhir-akhir ini adalah kemandirian dan kekayaan?”, cecar Andar lebih lanjut.
UNU Yogyakarta seperti yang disampaikan Mas Hajri berencana akan membeli tanah 100 Hektar.
Dalam 10-15 tahun ke depan, sangat mungkin UGM akan disalip UNU. Kader-kader akademisi NU umumnya sudah mulai pinter tur kendel (Pandai dan berani).
Sementara, kita orang Muhammadiyah yang baru saja launching SM Tower delapan lantai saja, sudah mulai membusungkan dada.
Kampus UNU, Rektornya alumni Luar Negeri. Sementara, Kampus-kampus Muhammadiyah makin kesulitan mengorbitkan Rektor yang merupakan lulusan atau punya pengalaman Luar Negeri.
Sementara, di PTM malah banyak yang baru lulus doktornya setelah bertahun-tahun menjadi Rektor.
Plus, Rektor-rektor UIN IAIN STAIN, NU semua. Lulusan luar negeri semua.
Mereka lagi panen dan pedenya segunung Lawu. Ditambah lagi, punya partai politik dan politisi ulung.
Sebenarnya, Mas Kyai Imam Addaruqutni sangat bisa untuk mencarikan dana dari luar negeri, khususnya dari negara-negara Arab.
Apalagi, Kyai Imam Addaruqutni-lah satu-satunya Kyai Muhammadiyah yang diklaim sebagai salah seorang chairman NU.
Jadi, ceritanya pada ahad kemarin penulis berencana menjenguk Bu Nyai Wiwin Darwina (istri Kyai Imam Addaruqutni) yang baru menjalani operasi cukup serius di RSIJ Cempaka Putih. Bagian belakang kepala Nyai Wiwin harus dibedah untuk membersihkan sisa gumpalan darah, akibat beberapa tahun yang lalu pernah terbentur pintu pagar yang roboh.
Alhamdulillah, operasi berjalan lancar dan kita doakan semoga Bu Nyai Wiwin lekas pulih dan dapat segera beraktivitas seperti biasa.
Saat penulis menelepon Kyai Imam, beliau sedang berada di Ritz Carlton untuk menyelesaikan draft pidato. Pidato untuk disampaikan pada acara Gala Dinner forum ASEAN Conference on Interreligious and Intercultural Dialogue.
Penulis memperhatikan bahwa Kyai Imam Addaruqutni ini begitu terhormat dan sangat dihormati di PBNU dan kalangan NU.
Bahkan, Kyai Imam Addaruqutni diminta menjadi salah seorang chairman dalam acara tersebut.
Kyai Imam, orang Muhammadiyah yang ditulis namanya mewakili NU.
Kyai Imam juga merupakan tokoh penting yang diundang pada acara forum agamanya G20.
NU Berkemajuan
Rupanya ramalan Allahuyarham Nurcholish Madjid dulu, benar belaka. Masa depan Indonesia itu santri. Dan santri itu adalah NU. Kata Cak Nur: “sebentar lagi NU itu akan panen”. Sekarang jadi kenyataan.
Meski lulusan Luar Negeri, kalau NU itu tetep kulturalnya tidak berubah. Menristek AS Hikam pernah menyelenggarakan simposium thuyul.
Lha NU itu ideloginya kan Walisongo dan tradisi lokal.
Lagi, Sholahuddin, Ph.D. ceramah di mana-mana yang diaduk-aduk hanya satu hal saja, yakni: salafi.
Karena gelarnya Ph.D tandanya Sholahuddin ini pasti lulusan luar negeri.
Ketua umum ISNU, Dr. Ali Maskur Musa pernah mengirim undangan ke Muhammadiyah acara harlah, mottonya ditulis bold: “dari akademisi ke kontemplasi”.
Mungkin terasa aneh bagi kita. Namun biasa saja bagi mereka.
Tidak lama lagi diprediksikan kelak Ketua Umum PBNU adalah lulusan Amerika atau Eropa.
Sementara, Muhammadiyah nanti bagaimana?
Penulis mendapat cerita, bahwa Pak JK beberapa kali menyimak pidato Ketum PBNU, pertama, waktu pengukuhan Pengurus PBNU di Balik Papan. Dan kedua, waktu Pidato amanat Ketum PBNU di harlah NU di Sidoarjo.
Komentar Pak JK: “pidato hampir dua jam kok enggak ada isinya sama sekali”, ini yang acara di Balikpapan.
Dan komentar lagi “Pidato selama itu, saya enggak paham maksudnya”, ini komentar acara harlah di Sidoarjo.
Memang pidatonya Ketum PBNU ini panjang sekali. Dan ini tak pernah bikin tertawa atau meringis sekalipun. Kecuali, meringis karena capek mendengarkan pidatonya.
Kawan yang memang rada nakal ini berkomentar: “Ketua Umum NU sekarang ini memang yang terburuk”. Tapi ini sebenarnya Beliau sudah ancang-ancang untuk mempersiapkan Ketum PBNU yang akan datang yang lebih hebat.
“Apa ini karena nasibnya Indonesia ya. Masa di mana Indonesia juga sedang memiliki seorang Presiden terburuk. Bagaimana yang terjadi di Muhammadiyah?” tanyanya kepada penulis.
Penulis-pun sempat gelagapan untuk menjawabnya. Betapapun cukup sering penulis mengkritik secara terbuka Ketua Umum PP Muhammadiyah, penulis tetap meyakini Prof. Haedar Nashir bukanlah sosok Ketum “terburuk” yang dimiliki Muhammadiyah. Mas Haedar dimata penulis adalah sosok yang mengagumkan. Beliau adalah sosok istiqamah yang paling rajin sejak masih belia, sejak di IPM, sebagai sosok ideolog persyarikatan. Mas Haedar-lah satu-satunya sosok yang masih bertahan sejak terpilih masuk 13 Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Muktamar Jakarta tahun 2000. Inilah yang menjadi kelebihan Mas Haedar.
Kritikan Untuk Orang-orang NU tidak kurang seriusnya. adalah Gus Baha (KH Bahaudin Nur Salim) yang melontarkannya.
Menurut Gus Baha, NU itu terlalu banyak pengajian umum. Tradisi ngaji (kitab) mulai hilang. Itu lampu merah. Orang kaya suka ulama. Suka kiai. Tapi maunya ngatur ulama, tidak mau diatur ulama.
“Saya ga mau ngaji yang ribet itu. Harus pasang panggung, sound system, yang penting bupati datang. Ribet.”
“Mereka habis 50 juta, 100 juta tidak masalah. Tapi sesuai mau mereka, yang datang jamaahnya banyak. Coba, kalo nuruti maunya kiai, ulama, ngajinya menganalisa kitab, uangnya buat mencetak naskah, pasti tidak mau.
Saya ingin kebesaran ulama itu kembali, yaitu bisa mengatur orang kaya. Bukan seperti sekarang, diatur orang kaya.
Banyak yang datang minta pengajian umum, bawa alphard, saya jawab kalo mau ngaji datang ke sini saja. Kalo kiai diatur-atur, kan ribet.
Bukan saya anti. Dan itu perlu. Tapi sudah over. Tapi tradisi ngaji yang sebenarnya, yang jadi standar NU, sudah mulai ditinggalkan.
Ditambah, kiai yang kedonyan, cinta dunia. Klop. Yang kaya, tahunya memuliakan kiai dengan uang, kiainya juga senang. Musibah. Terutama di Jawa Timur.
Saya keluar dari kantor PWNU Jawa Timur, langsung dikasih voucher umroh. Saya jawab, tidak, saya kiai Jawa Tengah.
Makanya saat saya diundang di Tebu Ireng, Pondok Syaikhona Kholil, Termas … Saya mau asal, disediakan naskahnya Mbah Hasyim Asy’ari, Mbah Kholil, Syaikh Mahfudz Termas.
Ya, saya ngajinya kitab para pendiri pesantren itu. Bukan ngaji Gus Baha tapi ngaji Mbah Hasyim Asy’ari, dll.
Ini kan musibah. Selama ini dzurriyah, para cucu tidak peduli dengan naskah pendiri. Padahal ada ahli filologi, pengumpul naskah. Naskah masyayikh kita ada di luar negeri, cucunya ga punya.
Saya punya naskahnya Syaikh Mahfudz yang tidak ada di Termas. Saya dikasih Mbah Moen. Akhirnya, para cucu ngaji ke sini.
Coba, Sirojut Tholibin di cetak di mana-mana, termasuk Yaman. Namun, kita tahu nasibnya di Jampes.
Kiai-kiai NU itu sudah alim. Ngerti hukum secara tafsil, kok malah hobi bicara yang mujmal. Ini kan sudah mau pinter, di suruh goblok lagi.
Anda itu ngaji, sampai buka kamus, meneliti tiap kata, harusnya ngajarnya seperti itu. Agar tetap alim.
Ada kiai yang sehari manggung 3 kali. Padahal, pasti dia tidak paham problem dakwah di setiap tempat itu. Dia tidak tahu objeknya, tidak tahu obatnya. Pasti bicaranya standar, itu-itu saja, yang penting lucu dan menarik. Mana ada waktu untuk belajar lebih dalam?
Akhirnya ada orang ceramah ditambahi musik macam-macam. Karena dia tidak alim. Tidak terkontrol, yang penting menarik.
Akhirnya ya goblok beneran. Pondok NU juga ikut-ikutan tren. Bikin acara, ya pengajian umum. Yang datang banyak.
Masak, pondok NU mengundang Ustad/Kiai yg tidak jelas. Karena ikut tren tadi. Tidak tahu, keduanya itu kategorinya apa, detailnya mereka. Musibah lagi, warga NU membaca tulisan Gus Ulil, Nusron bahkan Abu Janda tapi tidak tahu naskahnya Mbah Hasyim Asy’ari.
Saya hanya ingin, tradisi ilmiah di NU itu kembali. Kiai tidak boleh diatur orang kaya. Jika tidak, NU bisa habis (orang alimnya). Saya di NU ditugasi ini, bukan yang lain. Maka, saat saya di Lirboyo, saya bilang ‘Gus Kafa, saya lebih senang disambut 4 santri yang benar-benar niat ngaji, daripada banyak santri yang niatnya tidak jelas’. Kemudian, setiap kali saya ke Lirboyo, anak, mantu, cucu dikumpulkan dulu ngaji sama saya.
Jika, kita 5 tahun saja memulai. NU akan hebat. Jika bukan anak kita yang jadi alim, cucu kita akan jadi ulama. Itulah NU. NU itu harusnya melahirkan kiai – allamah, bukan kiai-mubaligh seperti sekarang. Dan saya melihat sudah lampu merah. Padahal di zaman kakek saya, bahasa Arab itu seperti bahasa Jawa. Saya punya tulisannya Mbah Hasyim Asy’ari yang surat-suratan dengan kakek saya dengan bahasa Arab.
Keilmuan, kealiman ini jangan habis. Dulu para pendiri, kakek kita, allamah, punya naskah. Jika kita terus begini, bisa habis”.
( https://www.portal-islam.id/2020/08/viral-gus-baha-kritikan-untuk-orang.html?m=1 )
Menjaga Integritas adalah Investasi Masa Depan
Persoalan yang paling sulit didalam mengelola sebuah pergerakan adalah menjaga sikap konsisten dalam menghadapi berbagai tantangan zaman.
Kita bisa melihat, betapa banyak organisasi yang seperti kebingungan dengan banyak jargon pada setiap periodenya.
Satu tempo mendeklarasi kembali ke khittah. Tempo yang lain mengumbar rencana besar sebuah program ambisius menjadi pemimpin terdepan Islam Nusantara, melalui berbagai macam kampanye moderasi.
Jargon kembali ke khittah menjadi kehilangan makna.
Penulis mengamati persoalan sejenis juga terjadi di banyak organisasi kemasyarakatan yang lain. Tidak terkecuali Muhammadiyah.
Sikap resmi organisasi begitu mudah berubah ketika menghadapi fenomena politik termutakhir. Acapkali elit organisasi kemasyarakatan mendadak galau dan cemas, melebihi kecemasan pimpinan partai politik.
Akar masalah dinamisnya perubahan tersebut sesungguhnya lebih disebabkan oleh persoalan pragmatisme para elit organisasi.
Elit organisasi memilih jalan pintas demi mendapat kue kekuasaan.
Bagi elit, tidak terlampau penting bagaimana mesti mempertahankan sebuah integritas.
Integritas, sekarang sudah dianggap sebagai barang antik.
Demi alasan pragmatis, dengan mudah integritas dikorbankan demi merangsek masuk lingkaran kekuasaan.
Inilah godaan terbesar bagi para aktivis dunia pergerakan di tanah air.
Merawat Kemandirian
Akhir-akhir ini kita menyaksikan bagaimana mekanisme balas budi itu terjadi.
Aktivis yang merasa banyak terbantu oleh kekuasaan, sekarang mulai berubah menjadi anjing penjaga yang setia bagi majikannya.
Banyak lulusan luar negeri yang ngoceh tidak karuan, karena menjalankan perintah sponsornya kala dulu dia menerima beasiswa darinya.
Mewabahnya fenomena ini tentu menggambarkan betapa kemandirian menjadi prasyarat sebuah integritas.
Tidak mungkin seorang aktivis akan mampu istiqamah memegang bara api pragmatisme kekuasaan jika dia tidak memiliki kemandirian.
Baik kemandirian secara sosial politik, maupun kemandirian secara ekonomi.
Kemandirian bagi seorang aktivis sejati adalah harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Pagi ini, penulis dimarahi oleh seorang Junior mantan Ketua Umum ortom.
Dia menyatakan, gara-gara tulisan Panjenengan ini, Muktamar IPM jadi sepi. Tidak ada bohir yang mau menggelontorkan dananya untuk para kandidat Ketua Umum yang akan berlaga.
Mungkin para bohir akan berhitung ulang, khawatir jagoan yang didukungnya tidak diberi SK oleh PP Muhammadiyah.
Apalagi, dengan sangat tegas PP Muhammadiyah telah mengeluarkan himbauan agar adik-adik IPM tidak coba-coba melakukan money politik saat Muktamar.
Jika terbukti melakukan money politik, PP Muhammadiyah tidak segan akan memberikan sanksi keras berupa pemecatan dengan tidak hormat.
Muhammadiyah tidak butuh kader-kader yang bermental bejat. Apalagi menjadi agen luar yang akan merusak karakter kader di masa depan.
Pentingnya kemandirian, sekaligus ikhtiar terus menerus dalam menjaga integritas menjadi syarat keenam Kebangkitan Muhammadiyah.
Dengannya, rasa optimis dan menbuncahnya harapan masa depan cemerlang Kebangkitan Muhammadiyah semakin dekat di depan mata kita.
Wallahu a’lam bi ash-showaab.
Ciputat menjelang Dhuha, 22 Muharram 1445
Qosdus Sabil : Penggembala Kambing Muhammadiyah