MENARA12 – Ada sebuah pesan KH Ahmad Dahlan yang sangat populer. Penulis tidak hafal persis kalimatnya, namun kurang lebih redaksinya sebagai berikut: “bekerja giatlah mencari nafkah, gunakan secukupnya untuk diri dan keluargamu. selebihnya gunakan untuk kepentingan dakwah dan perjuangan fii sabilillah…”
Kyai Ahmad Dahlan mengajarkan kepada kita untuk tidak malu berdagang. Bertataniaga ke berbagai kota sembari berdakwah. Beliau berdagang kain batik sembari mengisi pengajian di daerah-daerah yang dituju. Keuntungan berdagang batik digunakannya untuk membiayai usaha dakwahnya.
Apa yang dilakukan oleh Kyai Dahlan ini rasanya sudah jarang kita jumpai. Terlebih sosok-sosok pimpinan Muhammadiyah sekarang banyak diisi oleh kalangan akademisi dan birokrat. Kyai Dahlan, bahkan hingga Pak AR Fahruddin, adalah sosok-sosok pemimpin yang hidupnya sederhana, tidak bermegah-megahan. Beliau memilih dengan gembira menginap di rumah para sahabatnya, ketimbang menginap di hotel atau losmen yang telah disiapkan untuknya.
Dengan begitu, mereka merasakan ada kedekatan hubungan yang sedemikian intim dengan ummatnya. Tidak ada sekat yang membuat hubungan menjadi sungkan. Hubungan persaudaraan terbangun dengan begitu tulus. Tanpa disertai adanya tendensi dan kepentingan pribadi. Dalam catatan penulis, ada sebuah contoh keteladanan kepemimpinan di Muhammadiyah yang mulai luntur. Adalah adanya keengganan para pimpinan Muhammadiyah untuk memasukkan anak-anaknya di sekolah Muhammadiyah.
Kalau pimpinannya saja masih mengecilkan dan meremehkan kualitas pendidikan di sekolah Muhammadiyah, bagaimana mungkin kita akan menaruh harap orang lain akan percaya akan kualitas sekolah milik kita sendiri?
Ironisnya, banyak diantara kita yang ikut-ikutan enggan menyekolahkan anak-anaknya di sekolah Muhammadiyah. Kita ikut silau dengan sistem dan fasilitas pendidikan di tempat yang lain.
Terus Perbaiki Kualitas Pendidikan Muhammadiyah
Seorang senior IMM secara spontan pernah bertanya mengapa di sebuah kota Yogyakarta sampai berdiri dua pesantren Muhammadiyah. Jawaban yang diperolehnya sungguh sangat mengusik pandangannya. Berdirinya Muhammadiyah Boarding School (MBS) Prambanan adalah sebagai sebuah ikhtiar, karena Madrasah Mu’allimin dianggap sekedar hanya mencetak calon sarjana. Mu’allimin tidak lagi dianggap sebagai pencetak kader-kader ulama.
Sebuah kisah sejak 14 tahun yang lalu. Ada banyak sahabat yang menyayangkan perkembangan Madrasah Mu’allimin dan Mu’allimat yang dianggap stagnan, kurang kreatif dan dianggap kalah bersaing dengan tren sekolah-sekolah terpadu berbiaya tinggi.
Kemandegan “kreatifitas” Madrasah Mu’allimin dan Mu’allimat banyak mendapatkan perhatian tokoh-tokoh penting persyarikatan. Tidak kurang Allahuyarham Buya Ahmad Syafi’i Maarif hingga terjun langsung memimpin Panitia Pembangunan Kampus Terpadu Madrasah Mu’allimin.
Berbagai terobosan dan pembenahan dilakukan secara cepat. Mu’allimin dan Mu’allimat kembali berbenah. Upaya dan kerja keras dilakukan dengan sungguh-sungguh, untuk mengembalikan kejayaan Mu’allimin dan Mu’allimat yang sudah berusia lebih dari satu abad.
Alhamdulillah kami sebagai walimurid/walisantri hari ini telah melakukan apa yang disarankan oleh salah satu pendekar Chicago, Nurcholis Madjid. Beliau yang akrab disapa Cak Nur menyatakan: “Agar sekolah Muhammadiyah menjadi sekolah yang prestisius, maka putra-putri dari keluarga Muhammadiyah sendirilah yang menjadi siswa-siswi di sekolah Muhammadiyah. Jika hal itu tidak dilakukan maka sekolah Muhammadiyah bisa-bisa hanya mendapatkan “sisa” saja”.
Sebenarnya, sejak 5 tahun yang lalu penulis sudah berniat memasukkan anak pertama kami masuk Mu’allimin, namun saat itu rupanya sudah berlaku program 6 tahun untuk santri baru. Maksud hati kakaknya masuk Mu’allimin, adiknya Muallimat. Akhirnya kakaknya masuk MBS Ki Bagus Hadikusumo Bogor. Alhamdulillah sekarang niat itu dilanjutkan adiknya. Sejak awal anak kami yang nomor tiga ini hanya mau masuk Mu’allimin. Tidak mau ponpes yang lainnya.
Kami tidak akan sekedar menitipkan anak-anak kami kepada Madrasah Mu’allimin. Tapi kami menyerahkan sepenuhnya anak-anak kami. Untuk dididik dan digembleng dengan sebenar-benarnya agar sibghah Muhammadiyah benar-benar mewarnai pemikiran, perilaku dan visi hidupnya.
Silakan para asatidz melakukan apapun yang terbaik menurut Madrasah Untuk anak-anak kami. Kami percaya sepenuhnya metode dan pengajaran yang diberikan di Madrasah Mu’allimin adalah yang terbaik. Semoga kami selaku orangtua/wali santri dapat bersabar dan menahan diri untuk tidak banyak rewel protes sana sini ketika menyangkut ada hal-hal yang dianggap tidak nyaman oleh anak-anak kami. Kami yakin semua kebijakan Madrasah, para Ustadz/Ustadzah, hingga satpam dan Ibu dapur semuanya adalah yang terbaik buat anak-anak kami.
Dalam kesempatan ini sekalian ingin kami sampaikan harapan agar Mu’allimin bisa lebih fokus mencetak para saudagar yang hafidz, saudagar yang ulama, saudagar yang multitalenta, saudagar yang ahli hukum-dokter, dan lain sebagainya. Jangan menambah daftar alumni: Para hafidz yang miskin. Para Ulama yang miskin. Para akademisi yang miskin. Karena apa? Mari kita lihat para assabiquunal awwaluun: Abubakar, Umar, Usman, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, dan seterusnya.
Semuanya adalah saudagar-saudagar hebat di zamannya. Mereka berani memiskinkan dirinya utk kepentingan jihad fii sabiilillah. Mereka habiskan hartanya untuk mustadh’afiin. Namun mereka tetap saja saudagar-saudagar. Tidak pernah merubah mereka menjadi miskin. Ini sedikit kami tekankan, karena zaman millenial ini sikap hedonis dan nafsi-nafsi begitu besar menyelimuti anak-anak muda hari ini. Tidak ada peduli kepada nasib umat dan bangsanya.
Silakan jadikan anak-anak kami sebagai anak-anak militan dan radikal ketauhidannya. Sehingga layak mereka disebut sebagai kader-kader penerus perjuangan Mbah Kyai Ahmad Dahlan.
Perbaiki Kualitas Generasi
Lihatlah pesantren Al Zaitun yang fenomenal itu. Bagaimana mereka begitu perhatian atas riset dan budaya kewirausahaan. Bagaimana mereka mempersiapkan sumberdaya manusia dengan sungguh-sungguh. Begitu perhatian al Zaitun memperhatikan gizi para santri dan guru-guru di pesantrennya. Kran-kran tidak hanya mengalirkan air mineral siap minum. Namun, kran-kran tersebut mengalirkan susu sapi segar siap minum.Kebutuhan daging, baik ayam maupun sapi, mereka penuhi sendiri. Begitu pula kebutuhan sayuran dan buah-buahan.
Al Zaitun mencoba sebuah langkah rasional penyiapan sumberdaya unggul dengan asupan gizi yang sangat baik. Berbeda dengan umumnya pesantren milik Muhammadiyah, yang masih kurang memperhatikan optimalisasi asupan gizi bagi santri.
Adanya keterbatasan pemahaman atas begitu pentingnya asupan gizi bagi santri, mungkin lebih dikarenakan pihak Pesantren Muhammadiyah juga memandang penting untuk membiasakan santri-santrinya bisa hidup survive dalam keadaan apapun. Termasuk dengan pembiasaan menu makanan yang sederhana, agar juga tumbuh empati dan kepedulian para santri atas nasib sesama santri dan pelajar yang lainnya, untuk dapat hidup prihatin dalam menuntut ilmu.
Penulis saat ini masih menjadi salah satu penasehat Pimpinan Ranting Muhammadiyah Legoso Ciputat Tangerang Selatan. Sebuah Ranting yang memiliki produk unggulan Susu kambing Muhammadiyah (SKM).
Akan sangat baik, jika santri-santri Mu’allimin mau mengomsumsi susu produksi kita sendiri. Ketimbang anak-anak kita meminum susu-susu kemasan produksi konglomerasi asing, yang harganya juga relatif mahal.
Mari coba kita hitung sederhana: 315 santri baru × 3 box (30 sachet sekali minum) perbulan= 945 box/angkatan. Total butuh sekitar 5.400 box perbulan untuk semua santri. Itu baru muridnya. Baru santrinya.
Guru, Ustadz, Musyrif, Satpam hingga Ibu Dapur, berapa jumlahnya bisa dicover dari margin kebutuhan santri. Sekaligus kita ajarkan anak-anak kita untuk belajar enterpreneurship.
Santri Mu’allimin kita beri kesempatan untuk berlatih kewirausahaan. Santri diberi kesempatan untuk menjual Susu Kambing Muhammadiyah (SKM) tersebut kepada keluarganya dan orang-orang terdekatnya. Jika setiap ayah mengonsumsi SKM tersebut, minimal sehari sekali saja. Berarti diperlukan sekitar 5.000 box setiap bulan.
Berapa uang yang akan beredar setiap bulan? SKM dengan harga promo masih dibanderol Rp. 65.000/box. Kebutuhan santri= 3 box/bulan X 65.000= 195.000,-
Jika semua santri mengkonsumsi SKM, maka kita hitung 5.000 santri saja dikali 65.000= 351.000.000,-
Jika semua ayah mau berlangganan SKM, maka ditambah lagi peredaran uang sebesar 351 juta. Sehingga, dari Mu’allimin saja potensi uang beredar hanya dari usaha susu kambing sudah menyentuh angka 700-an juta setiap bulan.
Itu baru dengan asumsi ayahnya saja yang ikut berlangganan. Betapa besarnya potensi bisnis susu ini jika sang Ibu dan semua anaknya di rumah membiasakan minum susu kambing sebagai minuman kegemaran Nabi. Sangat besar manfaat yang bisa kita capai, jika niatnya adalah melakukan sebuah amalan sesuai sunnah Nabi.
Sekarang kita tunjukkan berapa sharing profit yang bisa dibagi? Pimpinan Ranting Muhammadiyah Legoso sebagai produsen akan mendapatkan bagian 12 %, setara dengan 84 juta/bulan. Kemudian bagian koperasi santri sebagai pihak distributornya akan mendapatkan bagian 20-25%, setara dengan Rp. 175 juta/bulan. Atau sekitar 2 miliar/tahun.
Dana rutin yang terkumpul dari penjualan susu setiap bulan dapat digunakan untuk menunjang berbagai kegiatan santri. Kegiatan Intrakurikuler seperti karya ilmiah remaja, maupun kegiatan ekstrakurikuler yang terkait dengan minat dan bakat keolahragaan. Sungguh merupakan berkah yang luar biasa jika kita membiasakan diri bersinergi. Terutama dalam setiap usaha peningkatan kualitas hidup generasi muda millenial Muhammadiyah di masa depan.
Kemajuan Riset dan Budaya Sains
Seberapa besar anggaran riset yang dianggarkan oleh kampus-kampus kita yang terkemuka?
Berapa banyak fokus riset berkemajuan yang telah dilakukan?
Bukan sekedar riset untuk memenuhi kewajiban. Apalagi riset yang sekedar formalitas untuk mengumpulkan angka kredit supaya lekas menjadi profesor.
Budaya sains harus mendapatkan perhatian ekstra dari Muhammadiyah. Agar lebih seimbang dengan kesadaran Muhammadiyah yang mulai sadar telah mengalami krisis kader ulama.
Krisis ilmuwan juga tengah kita alami. Bahkan jauh lebih lama terjadi. Begitu juga secara umum di negara kita ini. Ilmuwan kita yang telah melalangbuana umumnya enggan pulang kembali ke Indonesia. Karena apa? Karena negara sepertinya tidak terlalu memperdulikan kerja keras para ilmuwan. Karya mereka hanya dimasukkan ke perpustakaan. Tidak ada dukungan untuk mempatenkan hasil temuan mereka. Sudah begitu jangan berharap bahwa negara akan mensupport supaya temuan-temuan tersebut akan ditindaklanjuti dengan penelitian-penelitian berikutnya.
Kunci kebangkitan gerakan dakwah Muhammadiyah di masa depan akan sangat bergantung kepada sejauhmana Muhammadiyah memberikan perhatian untuk menciptakan iklim riset dan budaya sains yang maju dan berkemajuan.
Beruntung Muhammadiyah memiliki sosok kader militan bernama Agus Purwanto. Agus Purwanto, adalah seorang kader otentik Muhammadiyah. Gus Pur, panggilan akrabnya, adalah aktivis IPM sejak belia. Gus Pur juga merupakan aktivis IMM di ITB, kampusnya menuntut ilmu.
Gus Pur adalah sosok “gila”. Dia secara nekad merancang dan membangun Pesantren Sains (Trensains) di Sragen, bekerjasama dengan PDM Kabupaten Sragen. Visinya adalah mencetak generasi penerima hadiah Nobel di masa depan.
Apa yang dirintis Gus Pur, pelan namun pasti sudah mendapatkan banyak pengakuan eksistensi. Trensains bahkan resmi diminta oleh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang untuk dipergunakan sebagai model pembelajaran santri yang menggilai sains. KH. Shalahuddin Wahid, sebagai sesama alumni ITB, sangat menaruh respek pada gagasan-gagasan besar dan upaya Gus Pur membumikan ayat-ayat al-Quran sebagai inspirasi untuk menghidupkan sains.
Isyarat kebangkitan Muhammadiyah yang ketiga, adalah bagaimana kita harus secara serius membangun iklim riset dan budaya sains berkemajuan.
Budaya sains berkemajuan, dan menjadikan prestasi sebagai warisan peradaban.
*) Penulis : Qosdus Sabil – Penggembala Kambing Muhammadiyah