MENARA12 – “The language of politics, Kidder said, always asks, Who’s winning? The language of economics always asks, Where’s the bottom line? If we’re going to move forward as a culture, there has got to be another language of public discourse, and it has got to ask the question, What’s right?”
Paragraf di atas dikutip dari seorang etichist dari Institut for Global Ethics, Rushworth Kidder. Intinya, Kidder menegaskan bahwa jika ingin membangun dan memajukan budaya yang baik serta unggul, maka mulailah untuk tidak menggunakan bahasa politik dan ekonomi sebagai tema perbincangan dan pikiran. Kedua tema itu haruslah diganti dengan tema tentang budaya.
Bagi Kidder, bahasa politik berbicara tentang “siapa yang menang”, “siapa yang menjabat”, “siapa yang sedang memiliki kekuasaan”, “siapa yang mendapatkan posisi”, dan lainnya. Sedangkan bahasa ekonomi berkaitan dengan “di mana laba dan rugi”, “siapa mendapat bagian apa dan berapa”, “siapa memperoleh keuntungan”, dan bahasa serupa.
Jika ingin memajukan budaya, usul Kidder, kita harus membiasakan diri dengan bahasa baru, “apa yang benar”, “bagaimana mendapatkan kebenaran, “apa itu baik dan buruk”, “bagaimana menciptakan kebajikan” dan bahasa serupa lainnya. Bahasa budaya ini berbeda dengan bahasa politik dan ekonomi yang menawarkan profit, popularitas, jabatan, akses, dan kekuasaan yang menggiurkan.
Bahasa budaya kata Kidder “It is a distinct and unique language. And it’s not a language that we’re particularly comfortable talking about.” Bahasa budaya adalah bahasa yang unik dan tidak menarik diperbincangkan, bahkan seringkali menimbulkan ketidaknyamanan. Memperbincangkan budaya berarti selalu mencari tahu soal benar-salah; baik-buruk; indah-jelek. Dan jelas: Tidak menawarkan tawaran materi menggiurkan.
Sepertinya begitu tabiatnya. Gegap gempita, ramai, dan sibuk memoles citra agar posisi politik makin moncer. Hal itu seiring dengan meningkatnya daya tawar akses tetesan ekonomi dan kesejahteraan. Sementara membangun budaya secara perlahan, pelan, dan tidak ada spotlight begitu amat berat. Membangun budaya seperti menancapkan fondasi dan akar: Tak kelihatan.
Era internet of things dengan gawai di genggaman memungkinkan aneka informasi mendatangi setiap individu. Ya, mendatangi. Dulu individu mendatangi atau mencari informasi, kini informasi mendatangi tanpa dicari dengan sadar. Era banjir informasi tak terbendung. Informasi tanpa filter, gencar datang dan pergi.
Informasi, jika meminjam pendekatan Kidder, bisa menjadi instrumen untuk mengembangkan dan memajukan budaya, menumbuhkan karakter baik, dan membudayakan nilai-nilai kebaikan. Syaratnya: informasi tidak hanya berjejalan rebutan jabatan-kekuasaan politik dan bagian keuntungan ekonomi. Informasi hendaknya dijejali dengan nilai kebaikan dan diskurus kebajikan. Opini publik tidak melulu urusan kompetisi, tetapi bagaimana menciptakan kolaborasi.
Dengan pendekatan itulah, informasi berisi kebaikan dan kebajikan yang direncanakan dengan baik dapat menjadi program bersama oleh pegiat kebaikan. Informasi harus dikelola dan dijadikan pilihan strategis untuk memunculkan kebudayaan yang adiluhung. Informasi berisi kebajikan hendaknya menjadi alternatif di tengah banjir informasi yang bercampur baur antara yang benar dan salah. Tentu ini tidak mudah, karena tarikan kekuasaan dan ekonomi begitu kuat.
*) Penulis : A. Syauqi Fuady (Dosen STIT Muhammadiyah Bojonegoro dan Anggota Majelis Pustaka, Informasi, dan Digitalisasi PDM Bojonegoro)