Mandat Sebagai Khalifah
MENARA12 – Manusia, diberikan mandat yang tidak mudah oleh Allah untuk menjalankan misi sebagai khalifatullah fil ardh. Makna khalifah disini dapat kita maknai sebagai pengelola dan pemakmur bumi, agar tetap dalam kondisi ekuilibrium (seimbang). Artinya, manusia mempunyai tanggung jawab besar untuk menjaga bumi dari segala kerusakan, bukan malah melakukan kemungkaran berupa perusakan yang lahir dari sebuah keserakahan.
Munkar dapat diartikan sebagai suatu perbuatan atau tindakan buruk yang melanggar syariat atau melanggar apa yang telah ditetapkan Allah SWT dan juga memberikan implikasi buruk terhadap kehidupan sosial. Perusakan lingkungan merupakan salah satu bentuk kemungkaran, karena telah menyalahi perintah Allah dan tidak amanah terhadap mandat yang Allah berikan yakni untuk memakmurkan bumi, dan merugikan bagi kehidupan sosial-masyarakat. Salah satu dalil yang menyatakan larangan untuk merusak adalah dalam surat al-A’raf: 56 yang berarti: “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.”
Kita sebagai hamba-Nya diberikan dua pilihan, yakni menjadi hamba paripurna, menjalankan amanah mulia untuk menjaga bumi dari kerusakan atau malah menjadi hamba durhaka yang justru melakukan sebuah perusakan. Jalan mana yang akan kita tempuh? Jalan kebaikan untuk kemaslahatan lingkungan, atau jalan keburukan yang memberikan sumbangsih untuk kehancuran?. Mari refleksi, menanyakannya pada hati nurani.
Urgensi Melakukan Eco-Jihad
Realitas lingkungan hidup saat ini sedang menunjukkan kondisi yang tidak baik-baik saja. Krisis iklim, masalah sampah, pencemaran udara, air dan tanah, kebakaran hutan & lahan (karhutla), serta bencana-bencana ekologis yang menjadi konsekuensi dari kerusakan lingkungan, seperti: banjir, tanah longsor, kekeringan, dan cuaca ekstrem massif terjadi. Kalau dulu kita kenal dengan era pemanasan global, sekarang dikatakan oleh sekjen PBB, Mr. Antonio Guterres sebagai era pendidihan global. Untuk itu, langkah yang diambil juga harus tidak boleh biasa-biasa saja, dibutuhkan langkah yang “ekstra ordinary” untuk mengatasinya.
Menghadapi kerusakan lingkungan diperlukan keseriusan, keteguhan hati, kekuatan tekad, dan kelurusan orientasi. Kesungguh-sungguhan itulah yang dapat kita sebut dengan “jihad”. Jihad bukan dalam konotasi negatif sebagaimana digambarkan orang-orang yang mis-persepsi tentang jihad karena ulah oknum yang tak bertanggung jawab mengatasnamakan jihad dalam tindakannya, tapi justru mereduksi makna sakralnya.
Makna Eco-Jihad
Secara umum, jihad dapat kita artikan sebagai sebuah tindakan atau upaya dengan sungguh-sungguh, penuh perjuangan yang serius dengan segenap jiwa, raga, bahkan harta untuk kebaikan yang diridhai Allah SWT. Jihad memiliki pemaknaan yang luas, bukan hanya dengan perang (qital) yang justru itu akan mereduksi keluasan makna jihad. Selagi kemaslahatan, kebaikan yang diperjuangkan demi meraih ridho-Nya, dapat dikatakan sebagai jihad. Termasuk perjuangan dalam melestarikan lingkungan dan menjaganya dari kerusakan, selagi itu dilakukan dengan penuh kesungguh-sungguhan dalam perjuangan. Hal itu diistilahkan dengan sebutan ” eco-jihad” sebagaimana dipopulerkan oleh Ibunda Hening Parlan (Ketua Divisi LLHPB PP Aisyiyah).
Eco-Jihad terdiri dari dua kata, yatu eco yakni berkaitan dengan ekologi atau mengenai lingkungan hidup, dan jihad bermakna perjuangan yang sungguh-sungguh. Maka, eco-jihad dielaborasikan menjadi sebuah upaya yang sungguh-sungguh untuk memperjuangkan keadilan sosial-ekologis atau kelestarian lingkungan yang diniatkan untuk melaksanakan amanah mulia sebagai khalifatullah fil ard serta meraih ridho-Nya, demi lingkungan menjadi lebih baik.
Ragam Perjuangan dalam Eco-jihad
Setelah mengetahui dan sadar bahwa kondisi lingkungan hidup yang semakin memburuk, dapat mengancam keselamatan dan eksistensi manusia, yang mana itu adalah wujud dari sebuah kemungkaran, maka diperlukan aksi konkret untuk meresponnya. Hal ini sejalan dengan perintah Nabi dalam haditsnya: “Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman (HR. Muslim)”. Kemungkaran yang mendistorsi kelestarian lingkungan ini patut kiranya kita respon dengan instrumen yang kita punya, baik melalui tangan, lisan, maupun hati (walaupun itu menandakan kondisi lemahnya iman).
Melihat realitas mengerikan dan kesadaran akan mandat yang Allah berikan, sudah saatnya bagi umat Islam untuk melakukan jihad memperjuangkan kelestarian lingkungan hidup. Ada istilah “banyak jalan menuju roma”, begitu pula pelestarian lingkungan, “banyak jalan menuju kelestarian lingkungan”. Menjadi pemangku kebijakan misalnya, dapat berkontribusi melalui pengambilan kebijakan yang pro terhadap lingkungan. Akademisi, dapat berkontribusi melalui ide, gagasan, pengabdian, pemberdayaan dan penelitiannya. Masyarakat, dapat turut andil untuk melakukan kontrol sosial dan menerapkan pola hidup ramah lingkungan. Atau siapa pun dapat turut andil, berpartisipasi aktif dan bersinergi dalam mewujudkan cita-cita luhur kelestarian lingkungan, baik melalui hal-hal kecil, maupun hal besar yang revolusioner.
Implementasi Iman-Islam yang kaffah
Dalam Islam kita mengenal terdapat ayat qauliyah dan ayat kauniyah sebagai tanda kebesaran Allah. Ayat qauliyah dapat kita artikan sebagai tanda-tanda kebesaran Allah melalui firman-Nya, yakni ayat-ayat Al-Qur’an. Sedangkan ayat kauniyah yaitu tanda-tanda kebesaran Allah melalui hamparan alam semesta beserta sunatullah-nya. Berjuang demi kelestarian lingkungan, menjaga alam semesta dari kerusakan agar berjalan sesuai dengan fitrah-nya adalah bukti, wujud dari implementasi Iman dan Islam yang kaffah. Untuk itu, mari kita berjuang bersama dengan tidak hanya menjaga ayat-ayat kauliyah, tapi juga menjaga ayat-ayat kauniyah sebagai wujud iman-islam yang kaffah, menuntaskan misi sebagai khalifah.
Kaffah-nya (kesempurnaan atau komprehensivitas) Iman dan Islam tidak hanya ditunjukkan dengan kesholehan individual, yakni dengan kedekatan hubungan terhadap Allah (hablu minallah) melalui ibadah-ibadah ritual, berupa sholat, zakat, puasa, haji dan ibadah lainnya. Tapi juga ditunjukkan dengan kesholehan sosial-ekologis, yakni hubungan baik terhadap lingkungan sosial-masyarakat dan terhadap alam/ lingkungan hidup, yang dengan hubungan baik terhadap manusia dan alam (hablu minannas dan hablu minal alam) akan mengantarkan kepada kedekatan diri kepada Allah SWT.
*) Penulis : Muhammad Irfan Hakim, S.Sos (Kader Hijau Muhammadiyah)