MENARA12 – Beberapa hari ini penulis sedang di Bali bersamaan dengan even World Water Forum ke 10. Tiba-tiba ingatan penulis terbang ke masa lalu : Tanwir Muhammadiyah tanggal 24 sd 27 Januari 2002 di Denpasar Bali. Itulah pertama kali konsep dakwah kultural Muhammadiyah dibicarakan.
Tanwir mengambil tema Dakwah Kultural untuk Pencerahan Bangsa. Forum itu juga membahas pelaksanaan program, model dakwah kultural, termasuk khittah dan rekomendasi organisasi itu.
Secara tidak sengaja penulis diminta menjadi sekretaris Tim perumus materi dakwah kultural. Hanya karena ikut dalam pertemuan awal team dan penulis menyampaikan pokok pokok pikiran maka diminta menjadi sekretaris team. Dari mana pokok pikiran itu muncul? 100 persen dari dialektika konseptual kultural yang ada di kepala dengan membaca praktek dakwah Muhammadiyah di Kampung dimana penulis dilahirkan: Bakung Kecamatan Kanor Kabupaten Bojonegoro.
Bermula dari empat pemuda, 3 orang mengeyam sekolah dasar (tidak lulus), dan 1 orang lulusan madrasah aliyah. Dalam rentang waktu 1970an hingga 2000 jamaah Muhammadiyah menjadi lebih dari 1000 orang, ditambah dengan orang orang yang mengidentifikasikan dirinya sebagai Muhammadiyah jumlahnya lebih dari dua kali lipat.
Mereka terbagi menjadi 3 kelompok: Muhammadiyah, Mokamadiyah dan Kamandolah. Yang terakhir itu sebutan untuk mereka yang bermuhammadiyah sebagai identifikasi sosial namun dalam praktek ibadah masih nol, bahkan ada yang belum sholat. Mereka nyaman berada dalam pergaulan jamaah Muhammadiyah. Kamandollah sebutan untuk orang mengidentifikasi diri Muhammadiyah, sudah sholat namun belum sepenuhnya mengikuti manhaj Muhammadiyah. Berbeda dengan kelompok Muhammadiyah. Mereka umumnya teguh dalam manhaj Muhammadiyah, motor gerakan sosial dan dakwah.
Kategorirasi ini hidup alamiah dan bermakna dalam perluasan basis sosial Muhammadiyah. Tidak ada ketegangan diantara mereka. Muhammadiyah menjadi rumah kultural bagi siapapun di desa yang ingin memberi manfaat sosial bagi warga desa, tanpa dibatasi labelisasi warga dan non warga Muhammadiyah.
Baru-baru ini jamaah Muhammadiyah didusun ini berhasil membangun masjid senilai 4 milyaran rupiah secara gotong royong. Salah satunya dari seorang janda yang menjual rumah tanahnya secara lebih murah dengan hak menempati sampai mati. Yuk Sukarti namanya, pekerjaan sehari harinya ngasak!
Dalam rentang waktu 50an tahun perjalanan Muhammadiyah di kampung itulah beberapa konsep dan prinsip dakwah kultural berikut ini terasa autentik dan relevan untuk direnungkan bersama.
Dakwah kultural adalah pendekatan dakwah yang memanfaatkan budaya lokal untuk menyampaikan ajaran Islam. Pendekatan ini relevan dan efektif di Indonesia, yang kaya dengan beragam budaya. Berikut adalah konsep, prinsip, dan implementasi dakwah kultural bagi kemajuan Islam di Indonesia:
# Konsep Dakwah Kultural
1. Inkulturasi : Menyelaraskan nilai-nilai Islam dengan budaya lokal tanpa mengubah esensi ajaran Islam. Inkulturasi memudahkan penerimaan ajaran Islam oleh masyarakat setempat.
2. Kontekstualisasi : Menyesuaikan pesan dakwah dengan konteks sosial, budaya, dan sejarah masyarakat. Hal ini membantu agar pesan dakwah lebih relevan dan mudah dipahami.
3. Integrasi Sosial : Mengintegrasikan ajaran Islam ke dalam kehidupan sosial masyarakat sehari-hari melalui praktik budaya yang sudah ada.
# Prinsip Dakwah Kultural
1. Menghormati Budaya Lokal : Dakwah harus dilakukan dengan menghormati dan mengapresiasi budaya lokal. Ini penting untuk menghindari konflik dan resistensi dari masyarakat.
2. Kreativitas dan Inovasi : Menggunakan cara-cara kreatif dan inovatif dalam menyampaikan pesan dakwah, seperti seni, musik, tari, dan media lainnya yang sesuai dengan budaya lokal.
3. Kolaborasi dan Partisipasi : Melibatkan tokoh budaya, seniman, dan masyarakat setempat dalam proses dakwah untuk memastikan pesan diterima dengan baik.
4. Keterbukaan dan Dialog : Menjalin dialog yang terbuka dengan masyarakat, mendengarkan dan memahami kebutuhan serta perspektif mereka.
# Implementasi Dakwah Kultural
1. Seni dan Pertunjukan : Menggunakan seni pertunjukan seperti wayang, gamelan, tari-tarian, dan teater untuk menyampaikan pesan-pesan Islam. Contohnya, pertunjukan wayang kulit yang memasukkan nilai-nilai Islam dalam ceritanya. Khusus di Bakung saat itu Musholla Muhammadiyah menjadi tempat latihan dangdutan, pergerakan sepakbola dan voli.
2. Tradisi Lokal : Mengintegrasikan ajaran Islam dalam tradisi dan perayaan lokal, seperti memasukkan nilai-nilai Islami dalam upacara adat, festival budaya, dan ritual masyarakat.
3. Media dan Teknologi : Memanfaatkan media massa, media sosial, film, dan teknologi digital untuk menyebarkan dakwah dengan cara yang menarik dan modern.
4. Pendidikan Kultural : Menyusun kurikulum pendidikan yang memasukkan unsur-unsur budaya lokal dalam pembelajaran agama Islam, baik di sekolah formal maupun non-formal.
5. Literasi dan Satra : Mengembangkan literasi Islami melalui penulisan buku, cerita rakyat, puisi, dan karya sastra lainnya yang mengandung nilai-nilai Islam dan budaya lokal.
6. Pengembangan Komunitas : Mendirikan pusat-pusat kegiatan dakwah yang berbasis budaya, seperti pesantren yang mengajarkan seni tradisional atau pusat studi Islam dan budaya.
7. Pelestarian dan Pengembangan : Mengidentifikasi dan melestarikan nilai-nilai budaya yang sejalan dengan ajaran Islam serta mengembangkan praktik baru yang mendukung dakwah.
# Manfaat Dakwah Kultural
1. Penerimaan Lebih Luas : Pendekatan kultural membantu pesan Islam lebih mudah diterima oleh masyarakat karena disampaikan melalui media yang mereka kenal dan cintai.
2. Mengurangi Konflik : Menghormati dan memanfaatkan budaya lokal dapat mengurangi potensi konflik antara dakwah dan masyarakat.
3. Memperkuat Identitas Keislaman : Dakwah kultural membantu memperkuat identitas keislaman yang khas Indonesia, yang damai, inklusif, dan penuh toleransi.
4. Meningkatkan Kesadaran dan Pemahaman : Pendekatan yang kontekstual dan relevan meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang ajaran Islam.
Dengan menerapkan dakwah kultural, kemajuan Islam di Indonesia dapat dicapai melalui penghargaan terhadap keragaman budaya sekaligus memperkuat nilai-nilai Islami dalam kehidupan masyarakat.
Penutup
Belum lama ini penulis diudang Cabang Muhammadiyah Candi Sidoarjo untuk memberi pengajian. Di sana ada cerita soal dua ranting Muhammadiyah yang mati, dan dua desa lainnya sekalipun ada tokoh Muhammadiyah namun belum ada rantingnya. Apa maknanya! Memperluas basis sosial dengan menegakkan manhaj Muhammadiyah tidak selalu sejalan.
Dalam prakteknya memperluas basis sosial Muhammadiyah itu diperlukan kelincahan, gerakan dakwah yang menggembirakan, moderat dan solutif. Di pedesaan gerakan Muhammadiyah adalah inovasi solusi atas problem kemiskinan, keterbelakangan, kerentanan sosial dan kerusakan alam secara nyata. Dengan merangkul sebanyak mungkin ummat dakwah dalam kolaborasi yang luas. Biarkan mereka nyaman sebagai Kamandollah atau Mokamadiyah. Jangan bernafsu menjadikannya Muhammadiyah. Bassiruu wala tunafiruu, gembirakanlah dan jangan takuti hingga lari. Mudahkan dan jangan persulit. Perluaslah dan jangan persempit!
Denpasar, 22 Mei 2024
Salam
Kang Yoto