MENARA12 – Rabu (30/8/2023) tumpah ruah massa tak terelakkan menunggu arak-arakan kegiatan bertajuk “Bojonegoro Ninght Carnival”. Entah untuk apa dan siapa kegiatan itu digelar? Semua masih tanda tanya besar. Masyarakatpun akhirnya dipaksa untuk membuat narasi atas maksud tujuan BNC yang konon didanai APBD, hasil limpahan berkah minyak Bojonegoro yang tumpah ruah, hingga menjadikan Bojonegoro menempati ranking 1 sebagai daerah dengan APBD terbesar di Indonesia. Cukup fantastis 7,4 Triliun, dua kali lipat APBD kabupaten Tetangga Tuban dan Lamongan, bahkan tiga kali lipat Kabupaten Ngawi.
BNC adalah upaya mengingat kembali sejarah lahirnya Kabupaten, begitu kata sebagian masyarakat. Tetapi mengapa putri Shima “dandanan” Bupati, hingga bisa disebut tidak sambung. Lainnya menyebut BNC adalah upaya mengenalkan wisata Bojonegoro. Bagaimana mungkin masyarakat dengan kemiskinannya akan menggairahkan wisata. Lalu tempat wisata mana yang harus dibanggakan? Kayangan Api yang tak terawat, Negeri Atas angin yang stagnan, geo park yang mandeg, Kebun Blimbing yang tak kunjung ada inovasi, atau menunggu Waduk Gongseng, atau Thamrin Park dengan jalan aspal bergelombang. BNC adalah simbol keangkuhan raja dan punggawanya di atas singgasana yang berjalan berjajar dengan mobil sebagai medianya untuk mendapatkan sejumlah lambaian tangan-tangan lunglai rakyat. Atau mungkin gelak tawa pereda penderitaan “kemiskinan”, bak balsem gosok pereda sakit sesaat. Juga acungan jempol sebagai “reward” atas sederet penghargaan yang diterima sebelumnya.
BNC adalah cita-cita dan harapan bupati kedepan untuk menjadi sosok pemimpin yang sukses mensejahterakan rakyatnya diatas keadilan dan rasa bahagia. Why not? Mengapa tidak. Bukankan setiap manusia adalah sosok yang bergerak berubah kepada kesempurnaan.
Iya! Masih 23 hari sebelum masanya berahir. Tentu kesempatan baik untuk menjadi baik, hingga harum namanya akan terkenang selalu, melengkapi sejarah kepemimpinan Bojonegoro. Atau sebaliknya, adalah sebuah pilihan.
Kopi sore Gharas, 31 Agustus 2023